Selamat Datang!!!

Admin - Selamat datang di blog PMK STAN Angkatan '05

Selamat menikmati isi dari blog ini

Semoga dapat menjadi berkat bagi kita semuanya

dan mampu menjadi media komunikasi yang efektif

"Kamu sangat berarti

Istimewa dihati

Selamanya rasa ini

Jika tua nanti

Kita tlah hidup masing-masing

Ingatlah hari ini"

Smua Karna AnugrahNya

on Selasa, 23 Juni 2009

dedicated to : pemusikpemusik ibadah, faithful, menyusul, pemusik yang pernah jadi partnerku, mc-mc ku, all of u dah

Aku belajar main gitar sejak kelas dua smp, waktu itu dalam rangka nikahan omku, dia memberi kami*aku dan masku* sebuah gitar*omku yang nikah, tapi dia memberi kami kado*. Selama berminggu-minggu gitar itu tidak kami apa-apakan, karna di keluargaku tidak ada yang bisa memainkannya, sampai akhirnya masku mulai belajar memainkannya, dan dia mulai bisa, akupun jadi penasaran juga. Akhirnya aku mulai untuk belajar memainkannya, susah sekali ternyata, dan aku menyerah waktu itu. Waktu berjalan..di sma aku ngekos bersama masku, hiburan di kamar kami hanya radio dan gitar*jadul bgt yak..* waktu itu masku udah lumayan jago main gitar, aku jadi termotivasi untuk belajar gitar lagi. Detik berjalan, hari berganti akupun mulai bisa memainkannya*karna tiap hari cuma itu hiburanku*. Tiap ada lagu yang bagus di radio aku berusaha mencari kunci dan `melodi`nya, skill&feelingku mulai terasah, aku mulai bermain band juga. Waktu itu aku tidak pernah melayani sebagai pemusik ibadah, kecuali di acara retret waktu sma,itupun cuma beberapa lagu.

Aku lulus sma, pindah ke jakarta...

Pelayan pertamaku sebagai pemusik ibadah adalah menjadi bassist di acara KPI GKI bintama, masku merekomen aku jadi bassist waktu itu. Dan baru kusadari, aku sangat buta dengan lagu-lagu rohani, miskin sekali perbendaharaan laguku. Lalu menjadi pemusik di KJ, bersama masku, dan terulang kembali, dari sekitar 8 lagu hanya 1 atau 2 lagu yang aku tau, menyedihkan sekali. Akhirnya pada saat liburan pertama, aku pulang ke jogja. Saat di rumah aku mulai mencari-cari koleksi kaset dan cd milik bapakku, ada cukup banyak lagu-lagu rohani ternyata, dan mulai ku dengarkan satu persatu lagu-lagu itu, hmmppff..ternyata cukup membantu, perbendaharaan laguku jadi cukup banyak. Aku mendapat cukup banyak kesempatan menjadi pemusik di KJ ataupun Kopem, sesekali aku minta masku mengajariku beberapa lagu untuk menyiapakan pelayananku.
Banyak sekali hal yang kupelajari menjadi pemusik di pmk, hal yang tak kudapat waktu aku ngeband di sma. Pada suatu momen akhirnya aku bertemu dengan Anu, dan aku ingat sekali waktu itu dia bilang "gile..lu gitaris paling nyambung sama gw yus"..yap, kunci2 yang kami mainkan memang hampir sama, progress chordnya juga. Aku belajar banyak dari Anu 'kunci-kunci on-onan' kupelajari dari dia, singkop-singkop groovy juga kupelajari dari dia. Kami juga sering dipasangkan dalam berbagai acara di pmk, semakin nyambung lah kami, dan akupun terus belajar banyak dari dia. Sempat juga ikut festival seni di pmk, kami ikut cipta lagu*sebenarnya Anu yang ciptain lagu..* waktu itu aku berpikir..someday i will make a song too..tapi sampai sekarang blm kesampaian, hehe..

Lalu mulai jadi pemusik di PMKJS2, dan stress beratlah yang melandaku. Begitu banyak hal yang diminta, singkop ala PMKJS, kurangi variasi, dll. Aku terkadang berontak juga waktu itu. Waktu berjalan, aku akhirnya mulai belajar juga, mulai sering jadi pemusik di PMKJS2, Puji Tuhan, kau semakin diperlengkapi. Aku juga bertemu dan belajar banyak dari pemusikpemusik kelas wahid di Perkantas Kak Tirza, Iwan, Bang Sahat, Kak Erick, dll. Banyak sekali pelajaran dari mereka yang kudapat.

Pelayanan terakhirku di KJ adalah tanggal 15 Agustus 2008, waktu itu temanya Bangsa dan Negara, WL : Kawas, Singer : Dapot dan Tati, Pemusik : Aku, Dapit(cepet sembuh pit..rindu mendengar dikau mencabik2 keyboard), Mochue. Ingat sekali, kami memakai dresscode batik, dan memainkan musik etnis2 di Indonesia. Aku sedih sekali waktu itu, menyadari mungkin takkan bisa lagi menjadi pemusik di KJ.
Pelayanan terakhirku di pmk adalah ketika bintal angkatan 2008, 24 Oktober 2008. WL : Kawas, Singer : Flo dan Mono(thengs flo sudah mengingatkanku..hehey), Pemusik : Aku, Dapit, Daniel. Aku senang waktu itu karena diberi kesempatan untuk menjadi pemusik, walaupun statusnya sudah jadi alumni. Sedih juga, karena ini menjadi yang terakhir..
Sekitar 3 tahun aku berguru di PMK menjadi pemusik ibadah yang baik. Aku sangat bersyukur, aku yang dulunya tidak mengenal pelayanan, boleh Tuhan kenalkan kepada pelayanan lewat musik. Aku yang dulunya sombong, perlahanlahan Tuhan lembutkan hati ini. Hmm..smua karna anugrahNya..terkadang ketika aku bangun di pagi hari, aku mengingat kembali apa yang sudah Tuhan perbuat dalam hidupku, tekadang hanya bisa menangis teharu. Begitu banyak orang di dunia ini, tapi tidak kepada smua orang Dia memberikan talenta bermusik..dan Tuhan memberikannya kepadaku, aku sangat bersyukur akan hal ini. Aku menyimpan banyak sekali daftar lagu ketika aku melayani sebagai gitaris, banyak sekali coretan-coretan di kertas-kertas itu, bahkan ada bekas sepatu, melihat kertas-kertas itu membawaku ke suatu masa yang telah lalu waktu aku menjadi gitaris dan kembali bersyukur, Tuhan memberi aku kesempatan itu. Aku sangat merindukan kesempatan itu sekarang.

Mengingat kembali 4 tahun kebelakang adalah saat-saat yang takkan pernah aku lupakan dan tak terpikirkan sebelumnya..hikmatMu tiada terselami, kasihMu dalam tak terduga..mengingat betapa Allah terus memimpin dalam setiap jejak langkahku dan sungguh menyadari semua yang ada padaku, itu karna Allah yang memberi, semuanya. Entah sudah berapa ratus lagu yang kumainkan dan sebanyak itulah, bahkan lebih banyak, sesungguhnya Tuhan yang menguatkan aku di tengah segala keterbatasanku.
..
semua karna anugrahNya..

Yuseva Arya P

Selanjutnya..

TAHU SUTRA ====> Rp

Semalaman aku gak bisa tidur memikirkannya,,,
Tahu Sutra itu enak sekali. Aku pertama kali memakannya di Pulau Dewata sekitar 5 tahun yang lalu. Rasanya gurih dan teksturnya halus, di mulut lembut sekali. Mau dioseng atau sekedar digoreng biasa, sudah sangat lezat...Hhmmm...
Sambil membayangkan tahu sutra yang enak itu, aku berimajinasi membuka sebuah resto “Tahu Sutra“ di daerah Jakarta Pusat. Aku mempersiapkan semuanya, mulai dari cara membuatnya, kedelai itu diinjak-injak, digiling lalu diperas, diberi bumbu dan ragi. Kemudian dimasak beraneka macam jenis, ada sup tahu, tahu isi keju, tahu goreng polos, tahu melilit sosis, dan aneka masakan tahu lainnya. Kemudian aku juga mulai mendesign tempat restonya. Ada dua lantai, yang di bawah ada yang lesehan ada juga yang pakai sofa maupun kursi kayu biasa, ruangan samping yang di luar untuk smoking room, lantai atas untuk sky dinning, diberi atap kaca jadi bisa makan sambil melihat bintang kalau malam. Aku juga memikirkan manajemennya, mulai dari cara pemesanan makanan, cara bayar di kasir, sampai cara keluar masuk restonya (rencananya sih pintu keluar dan pintu masuk dipisah). Pokoknya keren dech, sampai akhirnya resto itu sangat terkenal dan membuka cabang dimana-mana.
Akhirnya goalnya adalah “Banyak sekali ‘Rp’ yang kuperoleh…!!!”
Kemudian aku juga berkhayal punya usaha loundry sampai 10 cabang yang semuanya ramai dan terkenal (terinspirasi dari salah seorang kasi di kantorku). Dan lagi-lagi goalnya adalah “Banyak sekali ‘Rp’ yang kuperoleh…!!!”

----------------

Keesokan paginya aku merasa letih dan ngantuk, semalaman gak bisa tidur cuma gara-gara memikirkan ‘uang’, bagaimana caranya membuka usaha dan berinvestasi bla bla bla…
Padahal selama 3 minggu ini aku beberapa kali mendengarkan khotbah mengenai uang. Dimulai dari Persekutuan Abdi Bangsa (PAB) 30 Mei lalu yang membahas tentang bagaimana mengelola keuangan keluarga PNS, kemudian PAKJ Pusat 5 Juni ttg Meniti Prestasi Dalam Bidang Pekerjaan. Yang terakhir hari Jumat kemarin di PAKJ Barat, sebenarnya c temanya simplify your life tp justru banyak dibahas tentang gaya hidup hedonisme gitu. Waktu PAB aku mendengarkan kesaksian yang begitu indah dari pembicaranya, mereka suami istri yang hidup sangat sederhana dalam kelimpahan mereka. Setia memberikan perpuluhan (bahkan lebih) dari setiap penghasilan apapun yang diterimanya. Sebagai seorang pejabat eselon II Deplu, beliau hidup dengan sangat sederhana, bahkan rumahpun mereka belum punya. Dan yang sangat mengharukan, dalam setiap kondisi mereka selalu mencintai Kristus, bahkan sekalipun mereka belum dikaruniai anak, cinta mereka tidak berkurang sedikitpun kepada Kristus.
Kemudian aku bandingkan dengan sharing Ayen waktu PAKJ Barat, dia bercerita tentang temannya yang teramat sangat kaya sampai bingung mau diapakan uangnya. Dia sangat royal dalam memberi persembahan maupun menjadi donatur-donatur, memberi orang lain yang berkekurangan, tapi gaya hidupnya juga lumayan ‘hedon’. Dia bisa menghabiskan uang jutaan untuk sekali semir rambut, ganti-ganti gadget sesuka hati, tiap hari ke mall beli sepatu, tas, maupun baju baru dengan merk terkenal yang mahal-mahal.
Apakah itu salah…???

----------------

Beberapa Pembicara sering mengatakan: “uang itu tidak bersalah, mencari uang juga tidak salah tapi yang salah adalah cinta uang !! Karena akar dari segala kejahatan adalah cinta uang…!!!
Yup, benar sekali ! Cinta uang membuat orang gila, sampai rela melakukan apapun juga untuk mendapatkannya. Rela menjual diri, menjual harga diri, bahkan menjual iman. Orang dikuasai oleh berbagai-bagai nafsu karena memburu uang. Bahkan di beberapa daerah orang rela membayar 70-80 juta demi bisa menjadi pegawai negeri, demi mendapatkan penghasilan tetap, uang di tiap bulannya. Bayangkan saja kalau mereka nanti menjadi pegawai negeri dan punya kedudukan juga, berapa banyak uang yang berusaha mereka ambil kembali…ckckck…

Mencari uang itu gak salah, bahkan Paulus mengatakan “jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan” (2 Tes 3:10). Allah juga memerintahkan kita untuk bekerja (mengusahakan bumi) Kej 2:15. Tapi yang seringkali kurang tepat adalah caranya mencari uang. Bang Peter J. pernah mengatakan, “bekerjalah menurut panggilan Allah bagi kita”. Bila kita dipanggil sebagai PNS, hendaklah kita bekerja sebagai PNS yang baik. Lalu tidak bolehkah kita punya usaha sampingan? Tentu saja boleh, asal pekerjaan utamanya tidak terabaikan dan usaha itu baik untuk mendukung pekerjaan utamanya. Seperti Paulus yang bekerja sebagai pembuat tenda, pekerjaan itu dia pakai untuk mendukung pelayanannya mengabarkan injil. Dia tahu apa prioritasnya, yang tidak fana dan menjadi harta yang kekal.

----------------
Kalau dipikir-pikir, sebenarnya gak ada kenikmatan (baca: kebahagiaan) sejati yang bisa dibeli dengan uang. Uang bisa membeli pria/wanita, tapi tidak bisa membeli cinta mereka. Uang bisa membeli kasur paling empuk di dunia, tapi tidak bisa membeli tidur nyenyak. Uang bisa membeli rumah mewah, tapi tidak bisa membeli rasa aman dan nyaman. Uang bisa membeli obat-obatan dan biaya RS yang sangat mahal, tapi tidak bisa membeli kesehatan.
Lebih baik sekerat roti yang kering disertai ketentraman, dari pada makanan daging serumah disertai dengan perbantahan (Ams 17:1).

Sebagai anak magang, uang 850 ribupun menjadi cukup ketika dinikmati dengan penuh ucapan syukur. Di akhir pekan tidak perlu jalan-jalan ke mall, makan di restoran mahal, atau nonton film terbaru di bioskop. Pulang dari gereja cukup nonton film pakai laptop temen, masak orek tempe dan oseng kangkung berdua sama pacar, sorenya joging di monas trus makan nasi + tempe orek bekal yang dibawa dari kost. Setelah itu, nonton air mancur bergoyang, wah indahnya…!!!
Semuanya itu sudah sangat membahagiakan. Week end selalu bisa menjadi moment yang special tanpa perlu merogoh kocek yang terlalu dalam. Asalkan bisa melewatinya bersama orang terkasih dan menikmatinya dengan penuh ucapan syukur.
Seperti Paulus telah mencukupkan diri dalam segala keadaan (Flp 4:11), anak magangpun perlu mencukupkan diri dalam segala keadaan…hehehe…

Dan akhirnya, inilah doaku:
Tuhan,
janganlah membuatku terlalu kaya, sampai aku tidak lagi mengandalkan kekuatan-Mu, tetapi hartaku;
janganlah membuatku terlalu kaya, sampai aku tidak lagi mengingat-Mu, tetapi hartaku;
janganlah membuatku terlalu kaya, sampai aku tidak lagi mencintai-Mu, tetapi hartaku.
Sebab lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah (Luk 18:25), karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada (Luk 12:34)

Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya (Mat 6:19), tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu (Mat 6:33).


Selasa malam, 16 Juni 2009

Eliani Angga Safitri

Selanjutnya..

Jangan pakai baju yang mudah kusut... (renungan magang)

on Selasa, 09 Juni 2009


Jangan pakai baju yang mudah kusut…
(Goresan di tengah kejenuhan magang)

Awalnya semangat, tapi lama-lama lesu. Terkadang semangat lagi, terus lemas lagi. Kenapa? Karena pekerjaannya begitu-gitu saja, bahkan tak ada pekerjaan lagi. Itu yang aku rasakan sewaktu magang ini. Bagaimana dengan teman-teman? Entahlah, tapi beberapa orang yang aku tanya, hampir sama kondisinya.
Sepertinya ada yang “kurang pas”, dan kalau kita mau jujur, beberapa kondisi yang selama ini menyebabkan kenapa magang diharapkan semoga cepat berlalu:
> Kondisi pertama: tantangan kerendahan hati.
Seringkali kita (baca: magangwan :D ), merasa tidak dianggap. Dikasih pekerjaan (yang menurut kita) “kurang layak” untuk seorang tamatan D3 STAN: pemberkasan [sortir, ngikatin berkas, bolongin kertas, fotokopi, transporter (antar sana, antar sini)], AR (ahli rekam), operator telepon, sekretaris dadakan, atau yang lainlah, sesuai kondisi di kantor masing-masing. Hal ini akhirnya menimbulkan kebosanan karena tidak menikmati lagi pekerjaan itu. (Padahal aku pernah mendengar pengakuan seorang pegawai, yang kerjanya itu terus selama sekian tahun).
Ada juga kondisi “serba salah”. Pertama, dikasih banyak kerjaan mengeluh, tidak dikasih pekerjaan merasa tidak dianggap (atau terkadang senang juga awalnya, bisa istirahat, facebook, YM atau browsing. Tapi lama-lama tidak dikasih juga bosan, atau terkadang tersinggung. Ada jenis pekerjaan yang memang harus dikerjakan oleh pegawai (yang sudah PNS), sehingga kita (yang CPNS pun belum) bukan bagiannya untuk pekerjaan itu, sehingga posisi kita kesannya “gantung” dan hanya bersifat membantu.
“serba salah” yang kedua: disuruh kerja oleh anak D1: tersinggung, disuruh kerja oleh yang lain: cemburu melihat anak S1 yang (kita anggap) “beruntung”. (apalagi yang ngasih kerjaan itu orangnya belagu dan malah jadi nyantai karena kerjaannya sudah kita kerjakan. Ditambah pula lagi, hasil kerja dari kita, tapi orang lain pula yang dihargai. Betapa membaranya panas hati ini). Rajin kena, malas kena.

> Kondisi selanjutnya: pengujian “tidak sabar”.
Tidak sabar ingin menunjukkan “jati diri sebagai alumni yang sesungguhnya”. Maksudnya? PNS Depkeu yang sesungguhnya. Bukan orang yang pergi pagi pulang malam, penghasilan di bawah UMR. Tujuannya apa? Untuk tujuan mulia sebenarnya. Memberikan “kejutan” kepada orang tua dari hasil gaji kita sendiri, membantu orang lain mungkin, memenuhi beberapa keinginan terpendam selama ini dengan penghasilan sendiri, memberikan persembahan pengucapan syukur atau menjadi donatur bagi suatu event (sudah dihubungi beberapa panitia, tapi sepatah katapun tak terucapkan karena bingung menjelaskan kondisi prasejahtera ini). Padahal masih magang, sampai waktu yang tidak ditentukan, dan merasa menjadi orang yang paling malang, karena masa magangnya dianggap sebagai masa magang paling lama di dunia. Padahal sebenarnya pernah juga angkatan-angkatan sebelumnya magang “sepanjang” ini, jadi sebenarnya masih agak wajarlah. Tapi itu tidak bisa diterima, karena rasanya sudah terlewat lama magang ini. Waktu magang dan penempatan yang tidak jelas ini juga berpengaruh pada pergumulan pelayanan di masa sekarang yang lagi regenerasi (mengambil komitmen memimpin kelompok kecil atau tidak, menjadi pengurus atau tidak, karena ketidakjelasan waktu dan tempat).

> Kondisi selanjutnya: “ketidak-mengertian” orang-orang, dan kesusahan penjelasannya.
Di rumah: bapak, mama, dan orang-orang rumah bertanya: “Kapan penempatan?”. “Belum tau”. Di kantor: “Sudah penempatan mas?”, di gereja: “Sampai kapan kerja di sini?”, di arisan-arisan/ perkumpulan keluarga: “Sudah kerja di sini? Kami rasakanlah dulu gajinya…”, di jalan: “Bro, udah ditempatkan?”, di facebook: “Ada kabar penempatan? Ada kabar baru? Ada gosip? Apa itu penempatan?”. Semua hanya dijawab dengan senyum, susah menjelaskan yang namanya “magang STAN”.
Itulah beberapa kondisi umumnya. Teman-teman bisa menambah kondisi-kondisi lain, yang teman-teman alami.

Sering aku merenungkan hal ini. Kalau magang hanya menghabiskan waktu begini, untuk apa? Kerjaku di gudang berkas, awalnya aku pikir, tidak usahlah memakai baju yang mudah kusut, karena kerjanya melantai (lesehan) dan ngangkat-ngangkat. Kemudian lama-lama aku perhatikan, banyak juga pegawai yang malas dan tidur sewaktu jam kerja (ataupun setelah istirahat). Akupun tergoda juga. Besok-besoknya pikiranku masih sama: jangan memakai baju yang mudah kusut, tapi tujuannya beda: supaya tidak ketahuan sehabis bangun tidur. Dalam hati tetap berontak: kalau begini magangnya, ngapain magang? Bukankah magang adalah melatih diri kerja di lapangan? Kok begini? Ini namanya melatih diri (memagangkan diri) untuk malas, tidur, sembunyi-sembunyi sama atasan, atau ada beberapa teman yang sudah ikut menerima “percikan” “uang terima kasih” dari Wajib Pajak bahkan mempelajarinya. Gawat bukan? (bukan ingin munafik, tapi kita tidak pernah dididik seperti ini). Hal seperti ini sangat mungkin terbawa kalau nanti sudah kerja nyata. (bukankah itu tujuan magang? Supaya kalau sudah kerja tidak canggung lagi, sudah terbiasa. Tapi apa dengan hal-hal buruk semacam itu?). Bahaya ini, pikirku. Makanya kalau ada teman-teman yang sudah terlena di magang ini, tolonglah dia, karena bisa saja (kemungkinan) kondisinya semakin terlena lagi setelah ditempatkan. Saling membangunlah. (Bakar lagi semangat visi PMK itu, lihat profil alumni yang dihasilkan! Jangan biarkan visi itu tinggal mimpi).
Dalam doa, saat teduh, firman, aku bergumul dengan hal ini. Sedih sekali rasanya…Untunglah, dan aku sangat bersyukur, tidak hilang dari persekutuan. Di PAK (Persekutuan Alumni Kristen) Medan, beberapa kali aku disadarkan akan hal ini. Jauh sekali bedanya sewaktu mahasiswa dulu. Begitu gampangnya mencari persekutuan, kelompok kecil, “kesibukan” pelayanan yang membuat tetap terjaga, hangatnya persahabatan, ada yang mendorong dan mengingatkan. Aku rindu situasi seperti itu. Bukan seperti sekarang ini, berjuang lebih mandiri, ditambah “sepi”-nya pelayanan (paling sebulan cuma sekali, paling banyak dua. Itupun sudah sangat bersyukur).
Ada pergumulan serius tentang ketidak-konsistenan: mahasiswa yang sudah terbina di PMK, kok setelah alumni tidak ada bedanya dengan yang bukan?
Terlalu sedih mungkin menuliskannya apabila ketidak-konsistenan itu terjadi dalam kehidupan kita sendiri. Kita semua tahu betapa rentannya kita ketika melayani sebagai orang Kristen; yang mengambil tanggung jawab terhadap orang lain, mengajarkan mereka jalan-jalan Allah, dikenal di tempat kerja sebagai orang Kristen yang sungguh-sungguh, sementara pada waktu yang sama terus bergumul dengan ketidak-konsistenan dan kegagalan-kegagalan yang dirahasiakan. Ini aku baca di sebuah buku. Dalam suatu penelitian, “mempertahankan integritas sebagai orang Kristen” ternyata berada di urutan kedua setelah “stres”, dalam lima masalah utama yang dihadapi orang Kristen di tempat kerja.
Aku pribadi bergumul sangat. Walaupun mungkin dipandang sebagai orang pelayan yang setia, kita tahu bahwa kita bisa menipu diri sendiri dan orang lain. Aku sangat menyadari pergumulan-pergumulanku dengan sikap dan perilaku yang tidak konsisten sebagai orang Kristen, kekuranganku di rumah, kekurangan sebagai pelayan, ketidaksungguhan dalam menyembah Tuhan, dan langkah-langkahku yang diliputi keragu-raguan sebagai murid Tuhan Yesus, dalam menjawab panggilan untuk hidup tak bercacat, aku menjalaninya dengan perlahan dan terseok-seok. Di mata Allah aku kerap kali merasa malu dan menyadari bahwa kita memang butuh pertolongan. Namun dengan kemurahan Allah, melalui firman dan Roh-Nya, kita mendapatkan anugerah pengampunan dan dorongan untuk tetap maju.
Mungkin kita hanya bertanggungjawab untuk sebuah tugas dan pelayanan kecil, dan mungkin menurut orang tanggung jawab ini tidak terlalu penting bila dibandingkan dengan tanggung jawab besar lainnya. Mungkin kita hanya bertugas menyusun berkas, mengetik, merapikan, atau tugas sederhana lainnya. Namun janganlah kita sampai kehilangan inti dari apa yang kita kerjakan. Dalam tugas-tugas yang terkecil sekalipun, kita bertanggung jawab untuk memastikan bahwa ada prinsip dasar yang harus dipegang, yaitu kita sedang menyampaikan sesuatu tentang kebenaran dan kuasa Injil ketika kita melayani dengan setia dan secara konsisten. Dan yang pasti, di kalangan orang-orang Kristen, sebetulnya kita sedang diamati. Bagaimana cara kita menangani tugas-tugas kecil dan menjengkelkan, bagaimana cara kita merespon orang-orang yang sulit ditangani, bagaimana cara kita berkomunikasi, bagaimana cara kita merespon di saat sedang lelah; dalam semua yang kita lakukan ini kita menunjukkan nilai-nilai Injil yang kita sampaikan.
Aku hanya mengurusi berkas. Kalau hanya memandang sebatas itu, aku yakin tidak akan bertahan sampai sekarang. Tapi mencoba memiliki cara pandang: seluruh alur proses perpajakan membutuhkan berkas, jadi kalau berkas beres, maka prosesnya lancar (begitu juga sebaliknya), dan kalau lancar, berarti memperlancar proses penerimaan negara dan kepuasan Wajib Pajak. Bukankah suatu tujuan akhir yang mulia? Aku teringat cerita 3 tukang batu. Masalahnya adalah bagaimana kedalaman visi kita melihat pekerjaan yang kita lakukan. Kini, bersama-sama teman-teman magang sekantor, kami berhasil menciptakan satu gudang berkas yang paling rapi (mungkin se-Indonesia, begitu kata Kepala Kantor), dan untuk itu, kantor pun menyewa satu lantai gedung lagi khusus untuk ruang berkas (bahkan perwakilan dari kantor lain datang untuk meniru ruangan berkas ini). Itulah “kenang-kenangan” yang manis, bila nanti meninggalkan kantor ini.
Kalau waktu kosong? Tergantung kita menggunakannya produktif atau tidak. Terserah caranya bagaimana. Kalau aku: membaca dan menulis. Sampai sekarang di pikiranku sama: jangan pakai baju yang mudah kusut, tapi tujuannya berbeda: supaya tidak usah kelihatan banyak duduk untuk menulis, atau supaya tidak perlu dilihat orang kalau sudah banyak kerja :)
Penempatan? Kapan dan dimana? Sabarlah… Aku (dan mungkin beberapa teman juga) dapat sms yang sangat bagus dari seorang staf Perkantas (Kak Fifi):

IA bekerja sangat lambat di saat-saat tertentu
Dan secepat kilat di saat yang lain.
Namun IA tepat waktu!
Tak seharusnya kita ajukan tuntutan dan deadline di hadapanNya tentang kehendak kita,
Tapi mintalah dengan berlutut, tertunduk berdoa dan MENANTI…
Karena dalam masa penantian, IA sedang merajut kita menjadi lebih indah.
IA membuat segala sesuatu indah pada waktunya. (Pengk.3:11a).
(terimakasih banyak kak, atas smsnya)

Nantikanlah Tuhan berkarya. Doa kita biarlah seperti Doa Musa dalam mazmurnya: “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” (Mzm 90:12)
Selagi menghitung hari, kerjakan saja bagian kita, sampai pujian dari Sang Tuan datang: “…Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar…” (Mat 25:21,23).

Sebait dari aku: (masih ku ingat sewaktu kesaksian di PMK: “I know Who holds tommorow”)
Aku tidak ingin hanya menjadi orang Pajak
Aku ingin menjadi orang bijak
Di daerah mana pun nanti kakiku berpijak
Ku yakin kasih Tuhan tak kan beranjak.

Lebih manis lagi ditutup dengan pujian:
Bapa surgawi, ajarku mengenal, betapa dalamnya kasihMu
Bapa surgawi, buatku mengerti, betapa kasihMu padaku
Semua yang terjadi di dalam hidupku
Ajarku menyadari, Kau s’lalu sertaku
B’ri hatiku s’lalu bersyukur padaMu
Kar’na rencanaMu indah bagiku.

Uups, aku menitikkan air mata.


Salam, Kawas. 5 Juni 2009.

Selanjutnya..

Ditampol Uhuyyyy.... !!!! by - Tukang Tambal Ban

on Sabtu, 30 Mei 2009


Halo temen2...
Ini note pertamax gw lho. Semenjak gw pertama kali megang pesbuk, akhirnya ada juga yg pengen gw curahkan melalui note di pesbuk ini karena menurut gw ini pengalaman yg cukup seru untuk gw share...

Jadi gini, hari minggu siang kemaren tanggal 24 mei, gw pergi ke kebon jeruk. Dari rumah (pondok pucung-red) emg udah keliatan kalo ban depan motor gw tuh kempes. Tapi karena gak terlalu yakin kempesnya gara2 bocor, ya udah gw pompa manual aja pake pompa "genjot" di rumah. Sapa tw kan cuman kurang angin doank. Trus ya udah gw terabas aja jalanan jakarta ini dengan kecepatan motor gw yang sulit untuk dihitung dengan speedometer standar motor indonesia. Akhirnya motor gw sampe dengan selamat di kebon jeruk. Pas nyampe kebon jeruk, gw cek lagi ternyata ban depan masih lumayan "kenceng". Lumayan seneng lah hati gw ini...

Trus malemnya sekitar jam 8 lewat gitu, gw mw balik tuh. Tapi ternyata oh ternyata, ban depan motor gw kempes lagi. Ywd lah, berarti jelas kan kalo ban motor gw bocor. Dengan sisa2 kekuatan di malam hari, gw doronglah motor gw yang "penomenal" itu ke tukang tambal ban terdekat. Kebetulan ada yg jaraknya cuman sekitar 10-15 meter gt. Daripada jauh, ya gw pilih yg terdekat itu lah...

Seperti prosedur tambal ban pada umumnya, dilepas lah ban motor gw bwt diperiksa. (Ya iyalah, masa ban motor orang ???) Trus abis dibuka, dipompa angin biar ketauan dimana yg bocor. Pas dipompa, tiba2 keluar suara "Dhuar...". (Gak usah terlalu lebay bayanginnya !!). Kaget kan tuh gw. Trus gw liat donk asal suara itu. Ternyata suara itu dari ban dalem motor gw. Pas gw liat ternyata ban dalem sobek sekitar 15 cm gt. Ga tw deh gara2 emg ban dalemnya udah lama trus ga kuat nahan tekanan ato dikerjain ma tukang tambalnya. Gw c positip tingking ajah, paling dikerjain ma tukang tambal bannya. Hehehe, becanda dink. Ywd lah akhirnya terpaksa ganti ban dalem kan. Ga mungkin ban sobek begitu ditambal. Kalo mw c dijahit, tapi kerajinan amat. Bisa selese minggu depan.Hehehe...

Ternyata yg ngurus motor gw bukan yg punya. Dy suruhan doank. Yg punya lagi pergi. Trus dy nawarin ban dalem yg mereknya NSP. Kalo ga salah kepanjangannya "Naek Sekali Pecah". Hehehe, becanda lagi. Tapi emg gw pernah punya pengalaman jelek ma ni merek. Masa dulu gw pernah make ni merek baru sehari dipake dah bocor2 lagi n terpaksa gw ganti baru lagi. Makanya pas ditawarin merek ini, gw langsung nolak. Kagak mw ketipu u/ ke2 kalinya dunk. Tukang tambalnya sempet nurunin harga gt dari 35 rebu jadi 28 rebu. Gw makin yakin kualitas tuh ban dalem kaya gimana. Gw tetep dgn pendirian gw. Kalo harganya 5000 baru mungkin gw mw beli. Karena gak jadi, akhirnya ban dalem motor gw yg dah sobek itu dikembalikan lagi posisinya...

Pas udah selese dibalikin lagi, gw langsung mw pergi ajah karena gw kan gak nambal n gak ganti ban, jadi gw ga ngerasa harus bayar. Tapi ternyata ditagih. Gw kasih 2000 perak lah karena gw pikir cukup segitu n duit receh gw emg tinggal segitu. Eh, pas gw kasih 2000, c tukang tambal minta 1000 perak lagi. Trus gw bilang aj kalo biasanya segitu. Eh, dy malah nyolot gt. Mungkin gara2 kesel ban dalem jeleknya itu kagak jadi dibeli ma gw. Abis itu bogem mentah dy mendarat tepat di pipi kanan gw. Beuh, kagak terlalu kerasa juga c pukulannya men. Justru yg gw khawatirin bogem dy kena kacamata gw. Secara ganti kacamata mahal bgt khan sekarang. Untung aja bogem dy kagak kena kaca mata gw, kalo kena.... ya pecah lah kacamata gw. Hehe. Tapi masa gara2 1000 perak doank ampe mukul bgitu ya ??? Otaknya dimana c tuh orang ??? Di sekitar situ ada tukang2 ojek gt yg akhirnya misahin gw. Untung mereka bela gw. Trus malah tukang ojek itu ngajak berantem c tukang tambal. Gw malah pengen ketawa. Nih sebenernya sapa c yg diajak berantem ? Bukannya gw ya ??? Kok jadi pada ribut sendiri c ??? Pas ditantang tukang ojek, si tukang tambal malah ketakutan gt. Minta2 maap gt ma gw n ma tukang ojek yg lagi ngomel2. Tukang ojek itu baek juga. Apa gara2 nyangka gw sesama tukang ojek juga ya ??? Hehehe...
Akhirnya gw tinggalin aja tuh mereka ribut2 sendiri. Gw dorong motor gw ke t4 tambal ban yg laen...

Yah, kira2 seperti itu pengalaman gw kemarin malam. Pengalaman ditonjok ma tukang tambal kayanya gak semua orang bisa dapet deh. Gw merasa terhormat dapet kesempatan seperti itu. (Wakakaka, apaan c ???). Perilaku bar2 seperti ini memang sering terjadi di jalanan, apalagi dengan kondisi ekonomi yg tidak semakin baik. Ditambah lagi dengan tingkat pendidikan yg rendah yg akhirnya membuat seseorang lebih menggunakan emosinya. Jadi, hati2lah saat berada di jalanan. Kejadian yg menimpa gw ini mungkin akan menimpa temen2. Tapi semoga aja nggak terjadi c. Cukup gw ajah...

Sekian note pertamax gw ini. Semoga berkesan di hati temen2 n berguna juga bwt ningkatin kewaspadaan temen2 semua. Hehehe....

Tengkyu...
GB

Oleh: Kristyanu Widiyanto

Selanjutnya..

Pacarku Pelupa...


Pacarku Pelupa… Ya, pacarku pelupa. Dia tidak pernah bisa mengingat banyak hal. Tapi jangan tanya soal pelajaran, dia salah satu yang terbaik. Namun dalam hal mengingat sehari-hari… bukan dia ahlinya. Dia hanya bisa tersenyum dan berbisik, “Sori kak, aku lupa.”. Entah kenapa bisa begitu. Apa karena phlegmatic sejati? Atau karena namanya ada miss-miss-nya, makanya sering lupa (miss)? Entahlah…

Jangan tanya dia tentang lagu-lagu, jangan tanya dia ayat-ayat Alkitab, jangan tanya dia momen-momen untuk dikenang… jangan. Dia hanya akan membalasnya dengan mengerutkan dahi, tersenyum simpul dan terkadang mengangkat kedua bahunya.

Sering juga hati ini kesal. Aku mampu menghapal ribuan ayat Alkitab dan lagu, mengingat momen-momen berharga, tapi dia tidak. Dalam hal daya ingat, aku tahu aku memiliki kemampuan yang lumayan, kecuali dua hal: mengingat nama orang yang baru dikenal, dan mengingat rute jalan, aku bukan ahlinya. Dan masalahnya, dia pun tak bisa melakukannya juga. Makanya, seringkali kejadian begini: aku bertanya: “Yang itu siapa namanya?”, dia akan menjawab: “Memang kita pernah ketemu ama dia?” atau “Oo iya ya kak, tapi aku lupa juga”, dia senyum dan aku hanya bisa menghela nafas panjang. Atau ketika kami berboncengan naik sepeda motor, aku lupa rute jalan yang baru beberapa kali kami lalui, dan ketika aku bertanya padanya, dia akan menjawab “Aku juga lupa kak… Hehehe”. Bahkan, dia bisa lupa (sering salah sebut) mana kanan dan mana kiri. Aku akan membalas (mungkin dengan mulai sedikit emosi): “Aku mendingan, bisa ingat simpangnya, tanda-tandanya, kam apa yang kam ingat?”, namun dia hanya berespon dengan melingkarkan kedua tangannya semakin erat di perutku.

Aku ingat momen-momen itu. Dia? Entahlah, mungkin saja. Pernah hati ini meragu, apakah dia benar-benar menyayangiku? Kalau iya, kenapa dia tidak mengingat hal-hal itu? Kalau kejadian atau ucapanku yang baru beberapa hari lalu saja dia lupa, apalagi momen 5 tahun yang lalu? Di saat semuanya masih sangat manis, murni, penuh harapan. Surat-suratku, memoku, sms-ku, kadoku, dan lain-lain, apakah masih ada dalam pikirannya? Aku butuh memejamkan mata untuk mengingat itu semua, dan tanpa terasa bibirku melengkungkan senyuman perlambang betapa sangat manis.

Pernah suatu saat, aku menanyakan itu kepadanya, “Kam ingat semua itu?”, jawabannya sudah ku duga, “Lupa kak.”. Selagi aku menggelengkan kepalaku, dia bersuara: “Tunggu sebentar ya kak.”, sambil berlari ke tangga menuju kamarnya di atas. Tidak lama, dia langsung turun membawa sebuah kotak. Aku sungguh terkejut. Sungguh. Kotak itu berisi semua yang pernah ku berikan padanya, dari pertama sekali (kecuali boneka-boneka yang setia menemani tidurnya). Dari surat, memo, bahkan foto-foto jadul, yang langsung mengantarkan memori ini ke sekitar 4-5 tahun yang lalu, saat pertama kali hati ini digundahkannya. Dia menyimpannya. Lengkap dan rapi, jauh dibandingkan dengan apa yang berhasil ku simpan darinya. Wah, senang dan haru. “Kak, aku tau, aku sering lupa, makanya ku simpan ini semua. Kalau aku lupa, aku bisa membacanya lagi, dan itu cukup untuk membuatku tersenyum sendiri mengingat semuanya. Jangan-jangan kakak gak nyimpan selengkap ini…”. Aku menganggukkan kepalaku dan bertanya lagi: “Coba sebutkan satuuuuu aja hal yang kam ingat?”. Dia jawab: “Aku sayang ama kakak. Itu aja”. Aku terdiam. Mati kata. Akhirnya tersenyum bahagia dan membelainya manja, “Aku sayang ama kamu”.

Awalnya aku pikir, seseorang yang mencintai aku, akan mengingat setiap kejadian dan kata-kata yang aku ucapkan, bahkan yang tidak sengaja, dan ia akan menggunakan kata-kata itu tepat waktunya. Namun ia menyadarkanku, tidak selamanya demikian. Seseorang yang mencintaiku, mungkin tidak bisa mengingat momen-momen istimewa, tapi ia tahu bahwa setiap detik yang ia lalui, ia mencintaiku, tidak peduli apakah ia ingat hari apa hari ini. Seseorang yang mencintaiku, akan selalu menyimpan semua benda yang aku berikan, bahkan kertas kecil bertuliskan ”Luv U” ada di dalam dompetnya.

Semakin menyadari bahwa cinta bukanlah menerima kondisi pasangan kita dengan harapan bahwa kita akan bisa mengubahnya di kemudian hari. Itu bukan cinta namanya, itu sekedar keinginan. Cinta yang sesungguhnya adalah melihat kekurangan pasangan kita dan mengatakan bahwa kita tetap mengasihinya.

---

Beberapa hari yang lalu, aku ingat, aku terkejut. Dia sms: “Kakak msh ingat ga dl qt prnh jln smbl ttp mata?i wanna try it again with u..i love u..”. Entah apa yang membuatnya tiba-tiba sms seperti itu, tapi aku ingat betul momen itu. Aku mengajaknya berjalan dengan tutup mata, sepanjang jalan komplek yang kami lewati untuk makan malam. Saat itu aku membujuknya: “Kalau kam percaya amaku, tutuplah matandu, berjalan amaku, aku yang ngasi petunjuk jalannya”, dan dia mau. Meski dengan langkah ragu, dia terus melangkah, aku yang memberi arah. Orang-orang yang berpapasan pun melihat “kelakuan aneh” kami ini, tapi dia terus saja berjalan karena tidak tahu kejadian di luar selagi menutup mata, dan aku pun diam. Akhirnya sampailah di tempat makan. Ada rasa puas. Hal ini kami lakukan beberapa kali, hampir di setiap kesempatan, dan selalu diakhiri dengan canda tawa. Pernah bergantian. Mataku yang ditutup, dia yang menuntun. Tapi aku curang, hahaha, sesekali aku mengintip, supaya bisa berjalan lurus. Ah,,, aku yang berjanji, aku yang mengingkari.

Beberapa hari kemudian, dia sms yang lain lagi: “jd ingat dl pas aq ngajar d smp plus P*****, trus kk sms bgs saat itu, jd smgt dh.semangad ya kak.” Oh, dia mengupas memorinya lagi. Bahkan aku sendiri lupa sms apa saat itu. Mungkin kalau dia menulis artikel ini, dia akan memberi judul yang sama, dengan modifikasi: “(ternyata) Pacarku Pelupa…(dan emosional)”. Tapi aku masih ingat sedikit kejadian itu. Saat itu kami sudah terpisah jauh, dan dia masih SMA. Karena prestasinya baik, dia diberi tugas menggantikan guru untuk mengajar SMP di dekat SMA itu. Awalnya dia merasa takut, tapi aku memotivasinya, dan berhasil.

Pernah lagi suatu waktu, di akhir percakapan telepon, dia mengatakan dengan gampangnya: “Goodbye kak…”. Aku emosi dan langsung menyambar: “Apa maksudndu Goodbye?”, telepon langsung ku tutup dengan marah dan bingung kenapa dia mengucapkan “kata tersedih” itu? Apa maksudnya selamat tinggal? Tak lama kemudian dia menelepon dengan lemah lembut mencoba menjelaskan: “Kakak lupa kalau aku gak bisa bahasa Inggris?”. Yah,, aku lupa lagi. Dia menjelaskan sebenarnya yang ingin dikatakannya adalah ‘bubay’, (bahasanya sendiri yang memang sering diucapkannya, yang artinya kira-kira: “Udah dulu ya sayang…”), tapi yang terucap akhirnya Goodbye. Dia minta maaf karena tidak bisa berbahasa Inggris. Setiap aku mengingat kejadian ini aku bisa tertawa sendiri. Mulai saat itu, kalau dia salah ucap Goodbye lagi, di telingaku artinya sama dengan I love you so much.

Hah,,, sungguh indah kenangan-kenangan itu, apalagi dalam kondisi dipisahkan jarak seperti ini, kenangan-kenangan itu terasa sangat berarti. Berjuta rasanya, rindu ini tak kenal kompromi. Kini aku mengerti kenapa namanya ada miss-miss-nya: karena dia memang ngangenin (missing) ^_^. Suatu kali aku mengunjunginya. Dan diapun pergi ke airport untuk menjemputku. Dia tidak membawa seikat mawar dan memanggilku “Sayang” seperti yang aku khayalkan. Tetapi, ia membantu membawakan tasku dan menanyakan: “kenapa kakak kurus-an baru beberapa bulan?” dengan hatinya yang tulus. Wah, itu sudah lebih dari cukup.

***

Dengan mengingat-ingat, hati ini terhibur. Sambil bertanya-tanya: apakah dia juga ingat atau lupakah? Ingat-ingat lupa atau lupa-lupa ingat? Lupa untuk ingat atau ingat untuk lupa? Seketika hal ini membuatku jadi teringat kepada Tuhan… Mungkinkah Tuhan itu lupa? Sepertinya tidak mungkin… Akhirnya aku mencari jawabnya dengan menelaah Alkitabku.
Ternyata, beberapa kali dalam Alkitab, sepertinya Tuhan “diingatkan” oleh manusia. Aku ambil contoh Keluaran 32:9-14, sewaktu Tuhan murka ingin menghukum bangsa Israel karena menyembah patung anak lembu emas. “…Lalu Musa mencoba melunakkan hati TUHAN, Allahnya, dengan berkata: "Mengapakah, TUHAN, murka-Mu bangkit terhadap umat-Mu, yang telah Kaubawa keluar dari tanah Mesir dengan kekuatan yang besar dan dengan tangan yang kuat?... Ingatlah kepada Abraham, Ishak dan Israel, hamba-hamba-Mu itu,…" Dan menyesallah TUHAN karena malapetaka yang dirancangkan-Nya atas umat-Nya. (band.Ulangan 9:27-29; Mazmur 25:6; 106:45).

Sewaktu Musa “mengingatkan” Tuhan, ada hasilnya: akhirnya Tuhan pun “ingat” dan “berubah pikiran/ menyesal”. Bersyukurlah, Alkitab “meminjam” bahasa manusia agar kita dimengertikan kasih setia Tuhan yang tak akan mampu kita mengerti sepenuhnya itu.
Beberapa contoh lain lagi: tokoh-tokoh Alkitab yang memohon Tuhan untuk “mengingat”: Simson (Hak16:28 "Ya Tuhan ALLAH, ingatlah kiranya kepadaku dan buatlah aku kuat, sekali ini saja, ya Allah,…", Hizkia (II Raj 20:3 "Ah TUHAN, ingatlah kiranya, bahwa aku telah hidup di hadapan-Mu dengan setia dan dengan tulus hati…”), Nehemia (Neh 5:19; 13:14,22 Ya Allahku, demi kesejahteraanku, ingatlah segala yang kubuat untuk bangsa ini.), Yeremia (Yer 15:15 Engkau mengetahuinya; ya TUHAN, ingatlah aku dan perhatikanlah aku, lakukanlah pembalasan untukku…), Yunus (Yun2 "Dalam kesusahanku aku berseru kepada TUHAN, dan Ia menjawab aku… Ketika jiwaku letih lesu di dalam aku, teringatlah aku kepada TUHAN,…), dan masih banyak contoh-contoh lain. Menarik sekali, bahwa akhirnya Tuhan “mengingat” dan “mengabulkan” permintaan mereka.

Mungkinkah Tuhan lupa (band. Mzm10:11; 77:10), sehingga Ia harus mengingat lagi? Coba lihat kejujuran pemazmur dalam Mazmur 25:7 “Dosa-dosaku pada waktu muda dan pelanggaran-pelanggaranku janganlah Kauingat, tetapi ingatlah kepadaku sesuai dengan kasih setia-Mu, oleh karena kebaikan-Mu, ya TUHAN.”. Seakan-akan pemazmur meminta Tuhan untuk “lupa” akan dosanya, dan “ingat” akan kasihNya. [Remember not… remember… The psalmist now prays that the Lord will not remember his past sins, shortcomings, and rebellious spirit. He wants the Lord to deal with him, not in accordance with his lack of loyalty, but according to God's own commitment of loyalty. The ground of forgiveness is God's goodness toward his people. Forgiveness is that act of grace whereby God extends his love, as if the sin had never taken place! -NIV Bible Commentary-].

Ingat lagu ini? “Sejauh timur dari barat, Engkau membuang dosaku, tiada Kau ingat lagi kesalahanku…”. Apakah Tuhan melakukannya? YA! Jonathan Lamb dalam bukunya “Integritas (Perkantas)” mengutip pernyataan Tom Wright: “Inilah salah satu inti kedisiplinan dalam hidup orang Kristen yang dengan beberapa hal tertentu, kita sebaiknya dengan sengaja melupakannya, dan berhasil melakukannya… “Seandainya saya memang telah mengampuni siapapun dan dalam hal apapun”. Ini bukan lupa. Ini merupakan bagian dari kedisiplinan pribadi yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.”

Ya, Allah mengampuni, Ia juga “melupakan”. Paulus pun melakukannya dalam II Korintus 2:5-11. Sungguh suatu nilai yang sangat ilahi. "To forgive is to forget". Mengampuni berarti melupakan.

Aku kembali teringat akan kekasihku, yang pelupa itu. Pernah aku menyakitinya, bahkan mungkin tak akan terlupakan. Tapi dengan bijaksana ia menatapku, “Sudahlah, tidak usah diingat lagi…”. Oh, aku sungguh berbahagia, punya Allah dan kekasih yang sangat mengasihiku.
Allah tidak akan melupakan kita. Ia setia pada janjiNya. Mari renungi 3 ayat ini:
Ulangan 4:31 Sebab TUHAN, Allahmu, adalah Allah Penyayang, Ia tidak akan meninggalkan atau memusnahkan engkau dan Ia tidak akan melupakan perjanjian yang diikrarkan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu.
Yesaya 44:21 Ingatlah semuanya ini, hai Yakub, sebab engkaulah hamba-Ku, hai Israel. Aku telah membentuk engkau, engkau adalah hamba-Ku; hai Israel, engkau tidak Kulupakan.
Yesaya 49:15 Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau.

Pacarku pelupa. Biarlah, asal dia ingat, dia mengasihi Tuhan dan mengasihiku. Aku pun. Akan tiba suatu saat, di mana aku akan lupa banyak hal, bahkan tidak ingat apa-apa lagi. Tapi satu hal aku minta kepada Tuhan: Ingatlah ya Tuhan, ingatkan aku, bahwa aku mengasihiMu dan kekasihku, juga orang-orang yang mengasihiku.
Janji manisMu Tuhan: “Janji yang manis, kau tak Ku lupakan”. Ya, aku tidak lupa itu.



Buat kekasihku: Misni (menuju 5 tahun,,,)

Oleh: kawas Rolant Tarigan

Selanjutnya..

PENYANYI-PENYANYI DI DALAM KEGELAPAN

on Kamis, 21 Mei 2009

Peru, abad ke-20

Rakyat sedang berkumpul pada hari pasar di desa Tayabamba, yang letaknya di daerah pegunungan Peru. Di mana-mana di sekeliling desa kecil itu, ada gunung-gunung yang menjulang tinggi ke angkasa.

Jauh di atas pada sebuah lereng bukit, ada seorang pria yang sedang berjalan kaki sambil memandang ke bawah, ke pasar desa di lembah itu. Nama pejalan kaki itu Renoso; ia seorang buruh harian. Matanya berbinar-binar kesenangan melihat pemandangan indah yang terbentang di depannya. Bagus sekali negeri Peru milik kita ini! katanya dalam hati.

Lalu Renoso mulai turun ke desa Tayabamba. Jalannya jelek. Setiap orang di daerah itu yang mampu, suka bepergian dengan menunggang bagal, keturunan kuda dan keledai. Tetapi bagi Renoso yang keuangannya pas-pasan, . . . kedua kakinya yang kuat itulah yang menjadi bagalnya! Sekalipun ia tidak mempunyai binatang tunggangan, namun hatinya senang.

Renoso sedang dalam perjalanan pulang setelah bekerja di suatu tempat di balik bukit. Ia membawa serta uang penghasilannya dari pekerjaan itu. Dalam ranselnya ia membawa juga Alkitabnya, buku lagu rohaninya, dan sebuah majalah gereja yang berjudul Kelahiran Kembali. Baik di kampung halamannya maupun di tempat ia bepergian, Renoso selalu setia sebagai anggota gerejanya.

Pasar mingguan itu masih ramai ketika Renoso tiba di desa Tayabamba. Ia tersenyum. Tadi ia merasa kesepian selama dalam perjalanan jauh di pegunungan tinggi. Kini ia dapat menikmati keramaian pasar. Mungkin ia akan membeli oleh-oleh untuk dibawa pulang kepada ibunya besok. Mungkin ia akan bercakap-cakap dengan berbagai macam orang. Renoso sangat peramah; tidak ada yang lebih menyenangkan hatinya daripada percakapan yang ramah.

Ternyata orang-orang di desa itu suka bergaul dan rela mengobrol. Ada yang datang dari desa-desa lain untuk menjual barang dagangannya di Tayabamba. Ada yang masih sibuk berjualan; ada yang sudah siap pulang. Dan ada juga yang sudah siap untuk pergi berbakti dengan cara-cara mereka yang khas.

Sambil bercakap-cakap Renoso memperhatikan orang-orang yang hendak pergi berbakti itu.

"Kami tidak berbakti dengan cara-cara seperti itu," katanya, seolah-olah mengobrol secara iseng-iseng saja. "Kami suka berbakti dengan membaca Alkitab, dan dengan menyanyikan lagu-lagu rohani." Dan ia pun mengeluarkan Alkitabnya dari ranselnya.

Orang-orang desa itu nampaknya tertarik sekali. Belum pernah mereka melihat sebuah Alkitab! Maka Renoso memperlihatkannya dan membacakan satu dua cerita dari halaman-halamannya.

"Buku itu bagus sekali!" kata seorang penduduk desa yang nama julukannya Paman Besar.

Renoso menggeleng. "Mungkin tidak, kecuali kalau mereka itu sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan Yesus."

"Kalau begitu, juallah Buku itu kepada kami," desak Paman Besar. "Aku ingin mendengar isinya lebih banyak lagi."

"Maaf, Paman, aku tidak dapat menjualnya," jawab Renoso. "Buku ini diberikan kepadaku pada suatu hari yang istimewa sekali." Ia membuka halaman depannya. "Lihat! Namaku dan tanggal pembabtisanku tertulis di sini dengan huruf besar. Maafkan, aku tidak dapat menjual Alkitabku."

Pada malam itu Renoso menginap di desa Tayabamba. Banyak orang yang berkumpul di sekelilingnya: Paman Besar, Kakek Tua, Si Pincang, dan beberapa penduduk desa yang lain. Mereka semua menyukai Renoso. Mereka semua ingin mendengar lebih banyak lagi tentang tempat-tempat yang dilihat dalam perjalanannya, dan tentang cara-cara berbakti di gerejanya.

"Mengenai cara berbakti itu," kata Paman Besar. "Katamu, kalian biasa menyanyi?"

""Betul, Paman," Renoso mengiakan. "Kami menyanyikan lagu-lagu pujian kepada Tuhan Allah, dan lagu-lagu doa yang memohon pertolonganNya dan bimbinganNya."

"Ayo, nyanyikan salah satu lagu itu!" seru Si Pincang.

"Ya, ya, nyanyikan sebuah lagu bagi kami!" semuanya turut mendesak.

Mula-mula Renoso merasa bahwa mereka bergurau saja. Ia bukan seorang penyanyi! Bagaimana ia dapat menyanyikan sebuah lagu rohani bagi mereka?

Namun wajah setiap orang yang sedang menatapnya itu nampak begitu mengharap-harap. "Suaraku jelek," katanya ragu-ragu. Tetapi melihat kekecewaan mereka, ia pun memberanikan diri. "Baiklah! Aku akan mencoba bernyanyi. Tetapi kalian harus turut bernyanyi juga! Aku akan mengajarkan kalian sebuah lagu rohani."

Maka mulailah Renoso bernyanyi. Ia menyanyi tentang kasih Allah. Ia memuji-muji Allah atas kebaikanNya. Melodi lagu itu polos sekali; kata-katanya sangat sederhana. Setiap anak di gereja Renoso sudah biasa menyanyikan lagu itu, dengan suaranya yang merdu.

Mula-mula para penduduk desa Tayabamba dengan susah payah ikut menyanyi. Mereka belum biasa mendengarkan lagu seperti itu, apalagi menyanyikannya! Suara Kakek Tua terdengar sering pecah. Sesuai dengan nama julukannya, Paman Besar mempunyai suara besar, tetapi nadanya sering sumbang. Tetapi si Pincang pandai menyanyi. Suaranya mengalun tinggi, seolah-olah ia sudah lama mengenal lagu itu. Memang suaranya kedengaran agak kasar, namun not-notnya tepat.

Berkali-kali lagu rohani itu diulangi. Para ibu yang duduk di pojok-pojok ruang yang gelap itu juga turut menyanyi. Anak-anak duduk mendengarkan dengan mata tak berkedip, sedangkan para orang tua mereka mengangkat suara.

"Ayo, biarlah Alkitab itu tetap tinggal disini," Kakek Tua mendesak lagi.

"Maaf sekali, Kakek," kata Renoso sambil menolak secara halus. "Tetapi, . . . ya, sudah . . . aku akan meninggalkan buku lagu rohaniku pada Kakek, dan juga majalah ini dari gerejaku. Lihat judulnya: Kelahiran Kembali. Itulah yang terjadi atas tiap orang yang mengikut Tuhan Yesus. Ia menjadi manusia baru, seolah-olah ia lahir kembali."

Keesokan harinya Renoso berangkat menuju kampung halamannya. Dalam hati ia bertanya-tanya tentang desa Tayabamba: Alangkah baiknya kalau bapak pendeta dapat pergi ke sana! Namun desa itu letaknya empat hari perjalanan dari tempat tinggal bapak pendeta. Banyak desa lain yang lebih dekat, yang juga belum sempat mendengar Kabar Baik tentang Tuhan Yesus.

Sepeninggal Renoso, orang-orang di desa Tayabamba itu tidak memikirkan tentang kedatangan seorang pendeta. Bukankah mereka sudah mempunyai sebuah buku lagu rohani dan sebuah majalah Kristen? Semua orang yang berminat, suka berkumpul sehabis kerja di rumah Paman Besar. Si Pincang yang membacakan buku dan majalah itu bagi mereka; tidak ada orang lain yang sepandai dia. Bahkan sebagian di antara mereka itu buta huruf. Mereka hanya dapat belajar dengan mendengarkan saja.

Si Pincang membacakan kata-kata dari lagu rohani yang telah mereka hafalkan, yang halamannya telah ditandai oleh Renoso. Berkali-kali mereka menyanyikannya. Lalu dengan susah payah, kata demi kata Si Pincang membacakan kata-kata dari lagu-lagu lain. Ia juga membacakan isi majalah Kelahiran Kembali. Ada yang sama sekali tidak dapat mereka pahami. Tetapi ada juga yang jelas artinya, karena masih ada hubungannya dengan hal-hal yang sudah disebut-sebut oleh Renoso.

"Bagaimana kita dapat menyanyikan lagu-lagu yang lain itu?" tanya Nenek Tua. "Melodi yang diajarkan Renoso itu tidak cocok dengan kata-kata yang lain."

Memang betul. Sudah berkali-kali mereka berusaha mencocokkan not-not itu pada lagu-lagu rohani yang lain, tetapi sia-sia semua.

"Mari kita membuat melodi sendiri," usul Si Pincang dengan mantap. "Kata-kata itulah yang akan menjadi penunjuk, bagaimana kita dapat menyanyikannya." Maka dengan gembira mulailah mereka ramai-ramai membuat dan menyanyikan lagu-lagu rohani dengan melodi-melodi baru.

Pada suatu hari Si Pincang melihat sebuah iklan dalam majalah Kelahiran Kembali. Iklan itu dari sebuah toko buku Kristen di Lima, ibu kota Peru. Di dalam iklan itu disebutkan juga buku lagu rohani yang sudah mereka miliki. Katanya, buku itu dapat dibeli dengan harga sekian.

Lalu si Pincang menemukan sesuatu yang mengejutkan sekali dalam iklan itu. Alkitab juga dapat dibeli! Alkitab yang sama seperti Alkitab milik Renoso! Dengan berjalan tertatih-tatih Si Pincang cepat-cepat pergi ke rumah Kakek Tua dan rumah Paman Besar untuk memberitahukan berita baik itu.

Malam itu mereka berkali-kali menghitung ongkosnya. Akhirnya mereka berhasil memposkan sepucuk surat kepada toko buku Kristen di kota Lima. Pesanan mereka: beberapa Alkitab, beberapa buku lagu rohani, dan beberapa barang cetakan yang lain.

Para pengurus toko buku di ibu kota itu heran. Setahu mereka, tidak ada seorang pun di desa pegunungan yang terpencil itu. Namun mereka segera melayani pesanan itu. "Tayabamba, . . ." sewaktu-waktu mereka berkata satu kepada yang lain. "Siapa kira-kira yang ingin punya Alkitab dan buku lagu rohani di desa Tayabamba?"

Alangkah senangnya Si Pincang, Paman Besar, dan Kakek Tua ketika pospaket yang dimuat di atas punggung seekor bagal itu tiba! Banyak penduduk desa berkumpul pada saat bungkusan itu dibuka. Tetapi orang-orang percaya itu tidak memperhatikan bahwa ada juga musuh-musuh mereka yang mengerutkan dahi. Mereka tidak peduli, oleh karena mereka begitu penuh dengan sukacita: Kini mereka mempunyai Alkitab yang sama seperti Alkitab milik Renoso.

Dengan Alkitab dan buku lagu rohani di dalam tangan mereka masing-masing, semua orang Kristen yang sudah dapat membaca sedikit itu makin lama makin pandai. Memang mereka harus membaca dalam bahasa Spanyol dan bukan dalam bahasa daerah, namun mereka berhasil juga.

"Lihat ini," kata Paman Besar sambil menunjuk pada sebuah majalah Kristen. "Di sini ada gambar anak-anak yang disuruh berkumpul untuk mendengarkan cerita-cerita Alkitab. Kenapa kita tidak menirunya? Belajar ayat-ayat dan lagu-lagu rohani itu sangat berguna bagi anak-anak."

"Gagasan yang baik!" kata Si Pincang. "Mari kita adakan sekolah untuk anak-anak di desa ini!"

Dan mulailah mereka mengadakan Sekolah Minggu untuk anak-anak. Hanya saja, mereka belum tahu ada istilah khusus "Sekolah Minggu", maka mereka menyebutnya "sekolah" saja.

"Nah, lihat!" kata musuh-musuh orang Kristen di daerah itu. "Mereka telah membuka sekolah tanpa izin!"

Alangkah terkejutnya Paman Besar, Kakek Tua, dan Si Pincang serta beberapa teman pria mereka ketika mereka ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara!

Mereka semua dimasukkan ke dalam satu sel yang kotor dan gelap. Tiga perempat dari lantainya basah. Di sel itu hanya ada satu jendela, dan itu pun tinggi di atas kepala mereka. Pintu besar dari balok-balok kayu itu dipalang rapat-rapat.

Para ibu diizinkan membawakan jerami dan tikar ke penjara sebagai tempat-tempat tidur. Sekali sehari mereka pun boleh mengirim makanan. Tetapi pintu itu tetap terkunci, dan tidak ada seorang pun di dunia luar yang tahu, bagaimana masib para tahanan itu kelak.

Sepanjang hari orang-orang Kristen yang sedang ditahan itu hanya dapat duduk-duduk saja.

Satu hari lewat. Lalu tibalah hari kedua.

"Aku ada akal," kata Si Pincang. "Mari kita kirim telegram kepada toko buku Kristen di kota Lima. Mungkin para penjual Alkitab itu dapat mengutus seseorang untuk menolong kita."

"Wah, nekat sekali usul itu!" balas Kakek Tua. "Tetapi siapa lagi yang mau menjadi teman kita?" Lalu ia mengeluh lirih; sendi-sendinya yang tua itu sudah terasa pegal karena ia harus duduk lama pada lantai yang lembab.

Nenek Tualah yang bersedia mengirimkan telegram. "Tapi sebaiknya jangan dari sini," katanya. "Akan ketahuan oleh musuh-musuh kita. Biar aku besok jalan kaki ke desa yang lain, lalu mengirimkannya dari sana.

Hari ketiga pun tiba . . . dan lewat pula.

"Aku ada akal lagi," kata Si Pincang. "Mari kita menyanyikan lagu-lagu rohani!"

Maka mulailah mereka menyanyi. Penjaga penjara itu heran mendengar nyanyian-nyanyian yang ria dari sel yang gelap itu. Berturut-turut mereka menyanyikan semua lagu yang sudah mereka hafal. Lalu mereka mengarang sendiri melodi-melodi baru untuk lagu-lagu yang kata-katanya sudah mereka dengar.

Tiap-tiap hari mereka menyanyi, bahkan kadang-kadang sampai jauh malam. Di antara saat-saat menyanyi itu, mereka pun bercakap-cakap dengan hati yang senang, serta membuat rencana tentang kegiatan mereka setelah dibebaskan kelak.

Pada suatu hari ada kabar yang menyedihkan: Istri dari salah seorang tahanan itu meninggal.

Para tahanan lainnya berusaha menghibur dia. Mereka juga berusaha membujuk penjaga penjara agar ia mengizinkan orang itu pulang selama satu hari saja.

"Biarkan dia pulang!" Penjaga penjara itu kaget pada saat ia membeo seruan yang terdengar dari sel yang gelap. "Wah, bisa-bisa ia melarikan diri!"

"Bukakan pintu!" seru Paman Besar. "Pasti dia akan kembali lagi."

Dengan ragu-ragu penjaga penjara itu akhirnya membukakan pintu. Orang yang istrinya baru mati itu diperbolehkan pulang.

Petang harinya, ia memang datang kembali ke penjara. "Terima kasih banyak, Suadara," katanya kepada penjaga. "Keluargaku merasa terhibur oleh karena aku diizinkan pulang untuk turut menguburkan istriku."

Penjaga itu melongo keheranan. "Aneh benar ajaran baru ini!" gumamnya. "Siapa yang percaya bahwa seorang tahanan dengan sukarela akan kembali ke penjara?"

Seminggu . . . lalu dua minggu lewatlah sudah.

"Untung sekali kita dipenjarakan!" kata Si Pincang dengan semangat. "Kalau kita sibuk dengan tugas sehari-hari, pasti tidak ada waktu untuk mempelajari lagu-lagu rohani ini."

Ia berdiri di pojok sel yang paling basah, di mana seberkas cahaya dari jendela tinggi itu menyinari buku nyanyiannya. "Nah, di sini ada sebuah lagu rohani berupa doa, . . . seruan minta keberanian dan kesabaran; Tentu saja kita perlu keberanian dan kesabaran; jangan-jangan seumur hidup kita akan tetap terkurung di dalam kegelapan ini!" Maka mulailah Si Pincang menyanyikan lagu baru itu.

Pada suatu hari penjaga penjara berbicara dengan sungguh-sungguh kepada para pamong desa Tayabamba. "Lebih baik mereka dibebaskan saja," begitulah nasihatnya. "Telingaku pekak mendengar nyanyian mereka yang tak kunjung berakhir. Apalagi ada tahanan-tahanan lain yang mulai terpengaruh oleh ajaran-ajaran mereka. Tambahan pula, mustahil kita dapat terus menahan mereka dengan alasan yang sepele saja."

Para pamong desa mengerutkan dahi. Mereka juga merasa terganggu dengan nyanyian yang terus menerus berkumandang itu. Apalagi, banyak penganggur sudah mulai berkumpul di luar tembok penjara. Penyanyi-penyanyi di dalam kegelapan itu sudah banyak menarik perhatian.

Akhirnya para pamong desa itu mengambil keputusan: "Baiklah, lepaskan mereka."

Penjaga penjara itu tidak menunda-nunda. Segera ia melangkahkan kakinya ke arah pintu penjara. Palang dan kunci dibukakannya semua. "Bebas, kalian semua bebas!" serunya ia tersenyum, karena dalam hati ia merasa kagum akan para tahanan yang tabah hatinya itu. "Pulanglah dengan selamat!"

Gembira sekali suasana pada malam itu di rumah setiap orang Kristen. Kemudian mereka semua berkumpul di rumah Paman Besar. Di sana mereka menyanyi, sama seperti waktu mereka menyanyi di dalam kegelapan. Di sana pula mereka mengucap syukur oleh karena masa tahanan mereka sudah lewat.

Beberapa hari kemudian, seorang penginjil memasuki desa Tayabamba dengan menunggang seekor bagal. Telegram kepada toko buku Kristen itu memang sudah diterima. Secepat mungkin penginjil itu dikirim ke sana.

Sesampainya di desa Tayabamba, penginjil itu agak bingung tentang hukum yang berlaku di sana. Namun ketika ia mendengar bahwa semua tahanan itu telah dibebaskan, hatinya lega. Sekarang ia dapat memakai waktunya dengan lebih terarah.

"Tiga puluh orang di sini sudah mulai membaca Alkitab," Si Pincang menjelaskan. "Lebih dari tiga puluh orang yang suka mendengar ajaran-ajarannya. Tetapi kami semua perlu lebih tahu bagaimana caranya mengikuti Tuhan Yesus."

Maka selama beberapa hari penginjil itu menetap du desa Tayabamba. Sesuai dengan permintaan Si Pincang, ia menolong orang-orang Kristen baru itu agar "lebih tahu bagaimana caranya mengikuti Tuhan Yesus." Ia pun bercerita kepada mereka tentang umat Kristen lainnya di seluruh dunia. Lalu ia pergi lagi, dengan janji akan datang kembali sewaktu-waktu.

Satu demi satu ada lagi penduduk desa Tayabamba yang rela mulai membaca Alkitab atau rela mulai mendengarkan pembacaannya. Satu demi satu ada lagi orang-orang baru yang percaya kepada Tuhan Yesus. Jumlah umat Kristen di desa itu tidak lagi hanya berpuluh-puluh orang saja, melainkan beratus-ratus orang.

Kadang-kadang penjaga penjara di desa Tayabamba itu masih suka bingung. Aneh . . . katanya pada dirinya sendiri, sejak aku membebaskan tahanan-tahanan itu, kejahatan di sini semakin berkurang. Tidak lagi sering terjadi perkelahian atau perjudian; tidak lagi banyak orang yang mabuk-mabukan. Tentu ini adalah perubahan cara hidup yang mengagumkan . . . berkat adanya penyanyi-penyanyi di dalam kegelapan itu!

Sumber: http://misi.sabda.org/cerita_isi.php?id=10

Selanjutnya..

EMPAT EKOR AYAM DAN EMPAT HARI PERJALANAN

(Afrika, abad ke-20)

Di kampung halaman si Bula, jarang ada orang yang mempunyai kelebihan uang. Di daerah Afrika itu, biasanya orang tukar-menukar untuk mendapat apa saja yang diperlukan. Tambahan pula, si Bula hanyalah seorang anak laki-laki; jika kaum dewasa sukunya kekurangan uang, apa lagi anak-anak!

Bula berjalan pelan-pelan menuju padang, tempat kambing-kambing sedang merumput. Ia duduk di bawah pohon kecil sambil terus memeras otak.

"Aku harus mendapat uang," ia bergumam. "Tidak baik meminta ayahku. Kalau memberi persembahan di gereja, seharusnya itu uangku sendiri, bukan uang yang dititipkan oleh orang lain."

Muncullah si Walif; ia mau bermain dengan Bula. Tetapi si Bula tidak mau bermain.

"Hatiku tidak tenang karena kata-kata Pendeta Musa tadi pagi," kata Bula.

"Memang mengejutkan," Walif mengiakan. "Sampai sekarang kata-katanya seolah-olah masih dapat kudengar."

"Baru kutahu!" cetus Bula. "Baru kutahu di dunia ini masih ada orang yang belum punya Alkitab! Rasanya kita di sini adalah suku terakhir yang diberi Alkitab."

Walif mengangguk. "Tetapi tadi pagi Pendeta Musa begitu yakin. Katanya, pasti ada orang lain yang masih sangat memerlukan Alkitab."

"Bukan kata-katanya itu yang mengganjal di hatiku," Bula mengaku dengan terus terang. "Kalau ia berkata masih ada orang lain yang memerlukan Alkitab, pasti itu benar, sebab Pendeta Musa tidak pernah bohong. Tapi ia juga berkata, kita yang sudah punya Alkitab . . ."

". . . harus turut meneruskan Alkitab kepada orang lain," kata Walif, menyempurnakan kalimat temannya. "Yah, kata-kata itulah yan mengganjal di hatiku juga. Apa lagi, persembahan khusus akan dikumpulkan hari Minggu depan. Kalau aku tidak memasukkan apa-apa ke dalam tempurung itu, . . . bagaimana?"

"Wah, malu rasanya!" kata Bula sambil mengeluh.

"Tapi . . . aku tidak punya uang."

"Aku juga tidak punya uang," kata Bula membeo.

"Dan . . ." Walif berhenti sejenak, sambil berpikir. "Nggak ada milikku yang dapat kujual."

"Memang, nggak ada . . ."

Selama beberapa menit kedua anak laki-laki suku Afrika itu duduk termenung; muka mereka masing-masing sangat sedih.

"Nanti dulu," kata Walif dengan tiba-tiba. "Bagaimana dengan ayam?"

"Ya, bagaimana?" Bula membalas.

"Sang kepala suku akan mengadakan pesta akhir bulan ini. Pasti ia mau membeli ayam."

Bula mulai tersenyum lagi. "Aku punya ayam."

"Aku juga."

"Ayam milikku sendiri," Bula menambahkan. "Kalau aku mau menjual ekor, boleh saja."

"Tetapi . . ." Sekonyong-konyong Walif kembali bermuka masam. "Rasanya kurang enak kalau orang lain makan daging ayam, sedangkan kita hanya makan kacang."

"Memang kurang enak," Bula mengiakan.

Lalu Bula bangkit berdiri seperti seorang tentara cilik. "Walif, rasanya lebih kurang enak lagi kalau ada orang lain yang belum punya Alkitab! Kalau kita dapat kirim uang seharga dua ekor ayam kepada orang-orang di negeri yang jauh, pasti kita dapat bertahan walau hanya makan kacang saja."

Walif juga berdiri tegak. Ia sudah siap bertindak. "Yuk, kita tangkap ayam-ayam itu!"

Kedua anak laki-laki itu berlari tunggang langgang ke sebuah kandang yang pagarnya semak berduri. Mereka memilih beberapa ekor ayam yang baik untuk dijual.

Lalu . . . mulailah perburuan! Kedua anak laki-laki itu berlari dan melompat ke sana ke mari. Bula mengira ia sudah mendapat seekor babon gemuk; ternyata ia hanya mendapat dua buluh ekor yang panjang. Walif merasa ia sudah menangkap seekor jago, tetapi jago itu berkeok-keok dan menggelepur sampai lolos lagi.

Ketika kedua anak itu berhasil menangkap masing-masing dua ekor, napas mereka sudah terengah-engah. Kaki ayam-ayam itu diikat dengan tali rumput. Lalu Bula dan Walif bergegas pergi ke sebuah rumah kepala suku.

Tetapi yang mereka terima di sana hanyalah kekecewaan belaka. Juru masak kepala suku itu menawarkan sejumlah uang yang sangat kecil. "Nanti setiap anak laki-laki suku ini pasti akan membawa ayam ke mari untuk dijual," katanya mencibir. "Apakah sang kepala suku itu orang kaya, yang dapat membayar dengan harga kota? Sesen pun tawaranku tadi tak akan kutambah!"

Bula dan Walif mundur dari rumah kepala suku. Mereka duduk di bawah naungan sebuah pohon yang cukup jauh sehingga juru masak itu tidak dapat mendengar percakapan mereka. Di sana mereka mempertimbangkan tawarannya tadi.

Timbullah sebuah pertanyaan: "`Harga kota'? Apa sih maksudnya?"

Bula pergi menanyakan hal itu kepada ayahnya. Lalu ia kembali melaporkan kepada Walif.

"Wah!" cetus si Bula. "Kata Ayah, di kota orang-orang rela membayar hampir dua kali lipat tawaran si juru masak tadi!"

"Tetapi kota itu dari sini delapan puluh kilometer jauhnya," Walif mengingatkan dia.

"Minggu ini sekolah libur," kata Bula. "Kita dapat berjalan ke sana."

"Berjalan!" Si Walif melongo. "Jalan kaki? Itu 'kan pasti makan waktu dua hari!"

"Ya, dua hari." Si Bula mengangguk. "Kita sudah sering berjalan sejauh empat puluh kilometer sehari. Lagi pula, rumah pamanku kira-kira separo perjalanan. Kita dapat bermalam di rumah pamanku!"

Memang Walif tahu bahwa ia dan Bula sudah biasa bepergian jauh. Ia pun tahu bahwa paman Bula pasti akan menerima mereka kalau menginap di rumahnya. Hanya saja . . . apakah hasilnya nanti sepadan dengan susuah payah mereka?

"Kalau kita menjual di sini, kita hanya dapat memberi persembahan seharga empat ekor, demi menolong orang lain mempunyai Alkitab," kata Walif pelan-pelan sambil mengerutkan dahinya. "Tetapi kalau kita menjual di kota, kita dapat memberi persembahan seharga delapan ekor ayam!"

"Yuk, kita pergi!" Bula mengajak. "Persembahan kita menjadi dua kali lipat, dan kita pun bersenang-senang pergi ke kota!"

"Maksudmu, kita bersusah payah pergi ke kota," kata Walif. Ia merintih, seolah-olah ia sudah merasakan sakit kaki. "Tapi . . . uang persembahan kita nanti memang menjadi dua kali lipat, ya?"

Kedua anak laki-laki itu pulang dan meminta izin kepada orang tua mereka masing-masing. Keesokan paginya mereka berangkat. Cukup sulit perjalanan itu! Di samping empat ekor ayam, mereka juga harus membawa bekal makanan.

Namun benar, setiba di kota, dengan mudah mereka berhasil menjual empat ekor ayam itu. Benar juga, "harga kota" itu dua kali lipat dengan harga yang ditawarkan oleh juru masak kepala suku. Uang logam yang banyak itu gemerincing di tangan mereka.

Perjalanan pulang mereka sangat menyenangkan. Bula dan Walif mengikatkan uangnya masing-masing. Dan uang itu walau cukup banyak, terasa ringan. Langkah kedua anak laki-laki itu mantap; wajah mereka berseri-seri.

Pada hari Minggu berikutnya, Pendeta Musa berdiri di depan jemaatnya. Sekali lagi ia menjelaskan mengenai keperluan persembahan khusus, yaitu agar orang-orang di negeri yang jauh dapat memiliki Alkitab.

Tempurung itu diedarkan dari tangan ke tangan. Bula dan Walif tersenyum lebar. Uamg logam yang banyak itu kembali gemerincing dengan keras pada saat menjatuhkannya ke dalam tempurung yang mereka pegang bersama.

Seluruh jemaat turut bergembira; bahkan Pendeta Musa sendiri tersenyum. Mereka semua sudah mengetahui tentang perjalanan si Bula dan si Walif. Mereka pun tahu bahwa kedua anak laki-laki itu rela menempuh perjalanan selama empat hari, agar dapat menjual empat ekor ayam dengan harga dua kali lipat. Dan pada hari itu pula, cukup banyak uang persembahan yang dimasukkan ke dalam tempurung, oleh orang-orang Kristen suku Afrika yang baru menyadari tanggung jawab mereka untuk meneruskan Firman Allah kepada orang-orang lain.

Selanjutnya..